www.masjidalfalah.or.id- Nama Jackie Ying sempat mencuat karena perannya di bidang medis. Perempuan yang telah bergelar profesor ini ternyata adalah penemu rapid test atau alat uji cepat yang hingga sekarang digunakan untuk mendeteksi infeksi virus pada seseorang lewat antibodi, termasuk virus korona yang kini menjadi pandemi penyebab COVID-19.
Jackie Ying adalah pimpinan Lab NanoBio, yaitu sebuah perusahaan sains, teknologi, dan penelitian yang menemukan alat rapid test tersebut. Ying juga ternyata adalah seorang mualaf. Melansir asianscientist.com, Ying lahir di Taiwan pada 1966. Pada usia 7 tahun, ia dan keluarganya pindah ke Singapura. Ayahnya seorang dosen Sastra Cina, di Nanyang University.
Sejak kecil, ia sangat menyukai ilmu pengetahuan, khususnya ilmu kimia. Namun, informasi soal kehidupan pribadinya tidak tersentuh. Dalam beberapa kesempatan, profesor Ying kerap mengisi program inspirasi di mana ia berbagi pengalaman tentang perubahan dan prestasi. Termasuk bagaimana ia memilih Islam.
Profesor Ying mengakui awalnya, selain bekerja hanya sedikit hal yang ia lakukan. Seperti mengajak putrinya ke taman. Seiring perjalanan waktu, ada perubahan dalam hidupnya. Ia mengenal agama melalui teman baiknya saat belajar di Raffles Girls’s School. Barulah, pada usia 30 tahun, ia mulai membaca soal agama Islam.
Dalam kesimpulannya, Islam merupakan agama yang sederhana dan masuk akal. Ia memiliki satu pandangan yang cukup menarik tentang Islam, “Jika kamu benar-benar ingin mempelajari ilmu pengetahuan, maka kamu harus percaya pada Penciptanya,” katanya, seperti dikutip AboutIslam.
Di dalam Islam, Muslim dituntut untuk selalu mencari pengetahuan. Dengan ilmu pengetahuan, katanya, seorang Muslim bisa berguna bagi masyarakatnya, “Setiap kali mempelajari ilmu pengetahuan, selalu merujuk kepada keberadaan Allah Subhanahu wa Ta‘ala. Jadi, saya tidak berpikir bahwa keduanya (agama dan sains) bertentangan satu dengan yang lain,” kata Profesor Ying.
Alasan lainnya Profesor Ying menerima Islam, melansir Liputan6, adalah karena agama ini memiliki konsep yang mudah dan sederhana. Selain itu, menurutnya, orang akan sangat terkejut bahwa di dalam Al-Qur‘an terdapat banyak pengetahuan yang luar biasa.
“Ketika saya pertama kali membuka Al-Qur‘an, jelas bagi saya bahwa ini adalah buku yang sangat, sangat istimewa dan luar biasa,” katanya.
Ketika menjadi Muslim, Profesor Ying mengakui tak mendapat reaksi negatif dari orang-orang di sekelilingnya. Koleganya pun tidak menghiraukan perubahan itu. Yang pasti, koleganya tidak lagi melihat sosok Profesor Ying yang tidak percaya dengan adanya Sang Pencipta di balik sistematika biologis kehidupan, tetapi seorang yang meyakini ada sesuatu yang Maha Besar di balik sistem kehidupan.
Setelah menjadi Muslim, Profesor Ying akhirnya bisa melaksanakan umroh. Sepulangnya dari umroh, ia mulai mengenakan jilbab. Sejak itulah, Profesor Ying juga sangat aktif berdakwah di Project Protégé Mendaki, membimbing dan menginspirasi kaum muda muslim yang tertarik untuk memajukan diri mereka dalam sains.
Kisah Profesor Ying adalah contoh yang indah tentang bagaimana seorang Muslim berkontribusi terhadap penelitian dan sains tanpa melupakan Allah Subhanahu wa Ta‘ala sebagai penciptanya. (ipw)