www.griyaalquran.id- Tidak banyak orang yang tahu tentang riwayat hidup Maria Al Qibthiyyah. Maria yang dulunya merupakan penganut Kristen Koptik adalah salah seorang dari ummahatul mukminin, bahkan termasuk sosok yang memiliki keistimewaan. Dari rahimnya, lahir seorang putra Rasulullah bernama Ibrahim bin Muhammad.
Maria memiliki paras yang cantik, serta berakhlak baik, sopan, dan suka belajar. Pertemuannya dengan Rasulullah terjadi pada tahun ke-6 H atau 628 M. Saat itu, Maria—yang merupakan seorang budak—dikirim oleh Raja Mauqauqis dari Kerajaan Alexandria sebagai hadiah pada Rasulullah atas jawaban menolak seruan pada raja agar memeluk Islam.
Maria sendiri memeluk Islam ketika dalam perjalanan dari Mesir ke Madinah. Saat itu, utusan Rasulullah bernama Hathib bin Abi Baltha’ah banyak menyampaikan risalah Islam kepada Maria dan Sirin, salah seorang budak lain yang juga dikirim sebagai hadiah.
Hathib juga menceritakan tentang Rasulullah, akhlak beliau, dan bagaimana beliau mengajarkan Islam pada pengikut-pengikutnya. Hati Maria sangat tertarik dengan Islam, hingga ketika Hathib menawarkan mereka untuk memeluk agama Islam, tanpa ragu-ragu Maria langsung menerima tawaran tersebut.
Meski mendapat penolakan dari Mauqaqis, Rasulullah tetap menerima hadiah sang raja, termasuk menerima Maria dan Sirin dengan baik. Bahkan kemudian Rasulullah mengangkat Maria menjadi istri beliau. Istri-istri Rasulullah yang lain pun sangat cemburu atas kehadiran orang Mesir yang cantik itu sehingga Rasulullah harus menitipkan Maria di rumah Haritsah bin Nu’man yang terletak di sebelah masjid.
Kedudukan Maria semakin terangkat ketika Allah menghendakinya mengandung putra Rasulullah yang kemudian diberi nama Ibrahim. Betapa gembiranya Rasulullah mendengar berita kehamilan Maria, terlebih setelah putra-putrinya, yaitu Abdullah, Qasim, dan Ruqayah meninggal dunia.
Buah cinta Rasulullah dengan Maria ini juga kemudian menjadi satu-satunya anak yang lahir selepas beliau diangkat sebagai utusan Allah. Sehingga Maria pun menjadi satu-satunya istri beliau selain Khadijah yang memberikan keturunan. Namun, Ibrahim bin Muhammad meninggal saat berusia 16 bulan.
Rasulullah amat merasakan kesedihan. Bahkan ketika Ibrahim masih dalam keadaan sekarat, Rasulullah bersabda, “Kami tidak dapat menolongmu dari kehendak Allah, wahai Ibrahim.” Tanpa beliau sadari, air mata telah bercucuran. Ketika Ibrahim meninggal dunia, beliau kembali bersabda:
“Wahai Ibrahim, seandainya ini bukan penintah yang haq, janji yang benar, dan masa akhir kita yang menyusuli masa awal kita, niscaya kami akan merasa sedih atas kematianmu lebih dari ini. Kami semua merasa sedih, wahai Ibrahim… Mata kami menangis, hati kami bersedih, namun kami tidak akan mengucapkan sesuatu yang menyebabkan murka Allah.”
Demikianlah keadaan Nabi ketika menghadapi kematian putranya. Walaupun tengah berada dalam kesedihan, beliau tetap berada dalam jalur yang wajar sehingga tetap menjadi contoh bagi seluruh manusia ketika menghadapi cobaan besar. Rasulullah mengurus sendiri jenazah anaknya kemudian beliau menguburkannya di Baqi’. (nin)