www.masjidalfalah.or.id- Menurut Prof Dr H Yunasril, MA, Dosen UIN Jakarta Syarif Hidayatullah, semangat pemberdayaan ekonomi umat belakangan ini yang dimotori alumni 212 sangatlah bagus dan perlu diapresiasi. Meski demikian, menurutnya ada satu hal yang kita tidak boleh lupa bahwa selama ummat Islam masih merokok, selamanya ekonomi ummat akan terserap dengan mudah ke para taipan atau cukong rokok.
Prof Yunasril menyampaikan hal ini saat menjadi khotib di Masjid Raya Pondok Indah. Ia kemudian mengilustrasikan jika jumlah rokok yg terjual setiap hari di Indonesia mencapai 90 juta bungkus. Bila satu bungkus rokok dibeli seharga Rp 10.000 (meski kenyataannya harga sebungkus rokok sudah di atas itu), maka setiap hari Rp 900 milyar uang masuk kantong para pemilik industri tembakau. Bila sehari Rp 900 milyar terbakar, maka dalam 4 hari saja jumlahnya mencapai Rp 3,6 trilyun rupiah. Padahal, setidaknya 80% pembelinya adalah ummat Islam.
Guru besar UIN Syarif Hidayatullah ini kemudian membandingkan dengan total jumlah WAZIS yang terkumpul dari semua LAZIS di tahun 2016 di seluruh Indonesia yang “hanya” Rp 3,7 trilyun. “Itu artinya jumlah ZIS yang dikumpulkan dengan susah payah selama satu tahun penuh ternyata sama besarnya dengan uang yg “dibakar” lewat rokok selama 4-5 hari saja. Ini adalah perbandingan yg luar biasa mencengangkan,” tegasnya.
Ia berharap, seandainya umat Islam kompak dengan penuh kesadaran berhenti merokok selama satu pekan saja, maka lihat berapa uang rokok tersebut bila disisihkan untuk dana pemberdayaan umat.
“Bagaimana bila umat Islam berhenti merokok sama sekali dan uang rokok kompak disisihkan untuk dana pemberdayaan ekonomi umat? Yakinlah insyaAllah umat Islam akan maju.”
Dalam khutbah itu, ia melemparkan pertanyaan retorik, “Siapa saat ini yang mayoritas menguasai industri rokok dari hulu hingga hilir? Tentu kita tahu jawabannya. Mereka itu 40-50 tahun lalu disebut sebagai tauke atau cukong dengan kepemilikan satu gudang tembakau dan satu pabrik rokok.”
Sekarang ini, ia menegaskan, anak-cucu mereka bukan lagi sekedar cukong atau tauke, melainkan mereka sekarang disebut taipan atau konglomerat. Cek saja, dari data Majalah Forbes, berapa dari mereka yg masuk 50 besar orang terkaya di Indonesia atau bahkan Asia?
Mereka, lanjutnya, jadi besar tidak lain dari hasil rokok yg dibeli oleh puluhan juta umat Islam. Sekarang mereka bilang sebagai taipan, mereka besar bukan dari rokok saja.
Sekarang mereka punya pertambangan besar, real estate/properti raksasa, hingga perkebunan yang luas.
“Padahal semua itu modalnya didapat dari hasil industri tembakau juga. Sampai sekarang industri tembakau masih jadi pemasukan utama mereka. Selama umat tetap merokok, maka mereka akan terus semakin kaya!”
Ia kemudian meminta ummat Islam untuk melihat buruh tembakau yang kondisi ekonominya tidak terangkat dengan moncernya bisnis ini. “Mereka miskin di bawah kaki para taipan yg luar biasa kaya. Siapa para buruh tembakau ini?Mereka mayoritas umat Islam juga,” katanya geram.
Padahal, ia melanjutkan, bos-bos mereka kaya raya dari hasil jual rokok yang dibeli umat Islam. Sementara, para pecandu rokok sulit percaya bahwa rokok itu beracun dan bisa membunuh penghisapnya pelan-pelan.
“Bila ada makanan atau minuman pada kemasannya ditulis ‘Beracun dan Membunuh’, maka orang nggak ada yang berani beli dan memakannya. Anehnya, biarpun pada kemasan rokok sudah ditulis demikian, tetap saja orang beli dan menghisapnya tanpa ragu,” katanya heran.
Dalam khutbahnya, ia meminta ummat Islam untuk berhenti merokok sekarang juga.
Alasannya, bukan karena kesehatan, tapi alasan pemberdayaan ekonomi umat.
“Kalo alasan kesehatan kan para perokok sudah nggak percaya, meski sudah dibilang bahwa para taipan dan cukong itu sendiri tidak mau menghisap rokok yg mereka jual. Alasan pemberdayaan ummat saat ini jauh lebih relevan untuk berhenti merokok. Berhentilah merokok sekarang juga dan sisihkan uang rokok tersebut secara berjamaah utk membangun perekonomian umat.”
Ia berpesan bahwa ekonomi umat harus dibangun secara bersyarikat, seperti halnya Syarikat Dagang Islam (SDI) yang dibangun oleh H. Samanhudi di Surakarta pada tahun 1911.
Jadi, sudah lebih dari satu abad lalu tokoh umat Islam mempelopori pemberdayaan umat secara bersyarikat atau berjamaah, tidak bisa ekonomi dibangun sendiri-sendiri.
Umat Islam tinggal mencontoh dan melanjutkan apa yang sudah pernah dilakukan oleh SDI H. Samanhudi di masa lalu.{}
Diambil dari pesan Whatsapp yang ditulis oleh Nandang Burhanuddin