www.masjidalfalah.or.id- Dalam hal menundaan pilkada saat pandemi, NU, Muhammadiyah, serta berbagai elemen masyarakat satu suara. Meski demikian, pemerintah melalui juru bicaranya masih bersikeras. Jika diteruskan, pakar hukum menilai hal ini bisa menjadi kejahatan negara.
Kepala Pusat Studi Hukum Universitas Islam Indonesia (PSH UII) Anang Zubaidy menyebut beberapa alasan mengapa pilkada harus ditunda.
Anang mengatakan keputusan pemerintah tetap menggelar Pilkada pada 9 Desember di tengah pandemi terkesan dipaksakan, “Pelaksanaan pilkada dipaksakan. Padahal napas pemerintah seperti terengah-engah menghadapi pandemi COVID-19,” ujar Anang pada Selasa (22/9), dikutip Gatra.
Menurutnya, pemerintah bahkan seperti mengabaikan desakan elemen masyarakat, seperti NU, Muhammadiyah, dan Komnas HAM yang menyuarakan agar pelaksanaan pilkada ditunda. Ia pun menyebut ada lima alasan penundaan pilkada.
Pertama, pelaksanaan pilkada di tengah pandemi sangat rawan dan berpotensi menambah jumlah kasus. Sehingga penundaan pilkada merupakan langkah yang paling menyelamatkan bangsa Indonesia dari meningkatnya jumlah kasus positif COVID-19.
“Apalagi di tengah vaksin yang hingga kini belum juga ditemukan, maka pertimbangan keselamatan nyawa rakyat harus dipandang lebih penting dari agenda ketatanegaraan apapun,” katanya.
Kedua, penanganan pandemi COVID-19 membutuhkan anggaran triliunan. Anang menilai, alangkah lebih bijak anggaran pilkada dialihkan untuk menanggulangi pandemi COVID-19.
Ketiga, penundaan pilkada tidak akan mengganggu pelayanan publik di pemerintahan daerah. Hal ini karena daerah dengan kepala daerah yang sudah berakhir masa jabatannya dapat diisi penjabat kepala daerah. Penjabat kepala daerah pun tetap dapat menyelenggarakan roda pemerintahan.
“Keempat, banyak penyelenggara dan peserta pilkada yang sudah positif terkena COVID-19, seperti Ketua KPU Pusat, KPU Daerah, dan beberapa peserta pilkada. Tidak menutup kemungkinan jumlah ini akan bertambah,” lanjutnya.
Terakhir, tidak ada jaminan protokol kesehatan dilaksanakan secara ketat. Pelaksanaan pilkada sangat berpotensi menghadirkan massa dan bisa membentuk klaster penularan baru.
Selain PSH UII, Serikat Pengajar HAM (Sepaham) Indonesia dan pusat studi HAM di sejumlah kampus juga meminta pilkada ditunda. Juru bicara Sepaham, Al Hanif, menyebut pernyataan Juru Bicara Presiden RI, Fadjroel Rachman, manipulatif, mengerdilkan makna demokrasi, dan mengorupsi tafsir konstitusional.
“Negara sesungguhnya mengatur hak-hak hidup, keselamatan warga, dan perlindungan kesehatan yang pula sebagai hak-hak konstitusional,” kata pengajar Universitas Jember ini.
Sepaham menilai keputusan melanjutkan tahapan pilkada adalah kejahatan negara atas hak-hak asasi manusia karena mempertaruhkan nyawa banyak orang. (nin)