www.masjidalfalah.or.id- Abu Hayyan Al-Tauhidi dalam kitabnya Al-Basha’ir Wa Al-Dzakha’ir memaparkan tentang kisah Imam Hasan Bashri yang dipertanyakan keimanannya oleh seseorang. Simak kisahnya baik-baik berikut ini.
“Seseorang bertanya kepada (Imam) Hasan al-Bashri: “Apakah kau orang yang beriman?” (Imam) Hasan al-Bashri menjawab: “Jika yang kau maksud (dengan beriman adalah) firman Allah ‘azza wa jalla (QS. Al-Baqarah: 136): “Kami beriman kepada Allah dan apa yang diturunkan kepada kami,” maka (jawabannya adalah) iya. (Karena) dengan (apa yang diturunkan-Nya itulah) kita menikah, mewariskan, dan melindungi (tumpahnya) darah. (Namun), jika yang kau maksud (dengan beriman adalah) firman Allah ta’ala (QS. Al-Anfal: 2): “Sesungguhnya orang-orang beriman adalah mereka yang bila disebut nama Allah gemetarlah hati mereka,” maka kita (perlu) memohon kepada Allah agar kita (bisa) termasuk (dalam golongan) itu”.
Mengenai kisah tersebut, Imam Hasan Bashri tengah mengajari kita soal keimanan. Bahwasannya ada dua pola keimanan yang dijelaskan Imam Hasan Bashri dalam kisah itu, yakni pertama, iman kepada Allah dan segala apa yang diturunkan oleh-Nya. Sementara yang kedua, iman yang terasakan dan teralami langsung oleh jiwa kita.
Pada pola pertama, hubungannya adalah dengan pernyataan kebenaran. Sehingga Allah adalah Tuhan yang Maha Esa dan apa yang diturunkannya adalah kebenaran. Dan konsekuensi dari pola iman yang pertama adalah keyakinan tentang kebenaran Islam dan mengamalkan segala apa yang disyariatkannya.
Mengenai pola pertama ini, Imam Hasan Bashri mengatakan “Ya, benar”, bahwa dirinya adalah orang yang beriman.
Sementara dalam pola kedua, Imam Hasan Bashri mengatakan “Iya” atau “Tidak”. Hal itu dilakukannya dengan harapan bahwa kita perlu memohon kepada Allah agar kita termasuk pada golongan tersebut. Wallahu a’lam bish-shawab. (nin)