www.masjidalfalah.or.id- RUU Cipta Kerja atau yang sering disebut Omnibus Law yang digagas Presiden Jokowi itu akhirnya disahkan oleh DPR lebih cepat dari waktu yang dijadwalkan. Hanya Partai Keadilan Sejahtera (PKS) dan Partai Demokrat di DPR yang menolak. RUU yang berpotensi menimbulkan polemik ini tetap disahkan meskipun banyak elemen masyarakat, bahkan pemuka agama lantang menolaknya.
“Kalau dalam RUU HIP yang kita takuti adalah lahir dan berkembangnya kembali paham sekuler dan atheis. Ini jelas tidak sesuai dengan identitas bangsa kita dan berlawanan dengan falsafah Pancasila dan UUD 1945. Dalam Omnibus Law yang kita khawatirkan juga tidak kalah hebatnya,” kata Sekretaris Jenderal MUI Anwar Abbas dalam keterangannya pada Juni (19/6) lalu, dikutip dari Media Indonesia.
Kemudian, menyikapi resminya RUU ini, membuat begitu banyak tokoh agama angkat suara. Sebanyak 500 ratus ribu orang teken petisi penolakan terhadap RUU ini.
Petisi yang diangkat di change.org dengan judul ‘Maklumat Pemuka Agama Indonesia: Tolak Omnibus Law dan Buka Ruang Partisipasi Publik’ ini berhasil meraup tanda tangan lebih dari 500 ribu pemuka agama.
Petisi ini digagas oleh Busyro Muqqodas , Pendeta Merry Koliman, Ulil Absar Abdalla, Engkus Ruswana, Roy Murtadho, dan Pendeta Penrad Siagian pada Senin (5/10). Mereka memandang, RUU ini dapat menimbulkan masalah dan konflik kepercayaan dari sisi agama.
“Adanya wacana pengawasan aliran kepercayaan oleh kepolisian. Ketentuan ini justru melanggengkan stigma, penyingkiran, diskriminasi, dan pelanggaran HAM yang terjadi berpuluh-puluh tahun pada kelompok minoritas agama atau keyakinan, dan menimbulkan kecurigaan sesama warga negara,” demikian potongan petisi itu.
Dalam petisi tersebut mereka turut bersuara soal ketimpangan hak buruh, konflik agraria dan lingkungan hidup, dan hal-hal yang dapat mengancam bidang profesi lain.
Persoalan konflik agraria dan lingkungan hidup misalnya. Mereka mengatakan RUU tersebut memberi ruang untuk kriminalisasi terhadap masyarakat yang mempertahankan hak atas tanah dan wilayah hidup.
Pasal 82, 83, dan 84 UU Pencegahan dan Pemberantasan Perusakan Hutan dalam pasal 38 RUU Cipta Kerja disinyalir dapat berpotensi mengancam rakyat kecil. Rakyat akan terancam pidana jika dituduh melakukan penebangan pohon, memanfaatkan hasil hutan bukan kayu, membawa alat untuk penebangan, memotong dan membelah pohon tanpa izin pejabat berwenang di kawasan hutan.
Para pemuka agama melihat bahwa RUU ini juga mengarah pada kekuasaan birokratis. Prinsip ini tentu berlawanan dengan asas desentralisasi atau otonomi daerah yang menjadi tuntutan reformasi 1998. UU tersebut menarik kewenangan provinsi dalam pengelolaan mineral dan batubara, termasuk penerbitan izin dan peraturan daerah.
“Omnibus Law adalah ancaman untuk kita semua. Ancaman untuk demokrasi Indonesia. Kami bersuara dengan petisi ini, untuk mengajak teman-teman menyuarakan keadilan,” tegas mereka dalam petisi itu.
Selain para pemuka agama, para akademisi juga membuat petisi serupa untuk menolak Omnibus Law. Mereka terdiri dari 3 Profesor, 30 Doktor, 57 Magister dan 2 Sarjana.(ipw)